Bergesernya
Makna Gotong Royong dalam Sistem Bagi Hasil Tradisi Derep di Desa Bulakwaru
Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal
1. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak luput
dari proses berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,
2009: 146). Pengaturan interaksi dalam masyarakat tidak terlepas dari
norma-norma kehidupan yang dijadikan acuannya. Tanpa adanya norma tersebut,
masyarakat hanya sebatas kumpulan manusia dengan tidak adanya rasa kebersamaan
dan rasa bermasyarakat. Aktivitas gotong-royong ini sering di jumpai di setiap
daerah dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda pula. Salah satunya adalah
kelompok masyarakat Jawa daerah pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa, salah
satunya di daerah Jawa Tengah, sebagian besar hubungan sosial berdasarkan
sistem gotong-royong, walaupun gotong-royong tersebut tidak terbatas pada hubungan
keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat dipahami sebagai
perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat dalam bermasyarakat.
Misalnya yakni salah satu tahap pekerjaan dalam pertanian padi di sawah, serta
dilakukan dengan cara gotong-royong dan biasa mendapatkan bantuan dari orang
lain (luar keluarga petani yang bersangkutan) adalah tahap pekerjaan terakhir
di sawah, yaitu tahap panenan. Dalam pekerjaan panen ini
dikenal istilah derep. Derep
ialah proses melakukan panenan di sawah orang lain (Satjadibrata R, 1954: 83).
Untuk pekerjaan tersebut para buruh tani biasa memperoleh upah berupa sebagian
dari hasil derepnya. Hasil yang menjadi bagian penderep ini disebut bawon.
Bawon merupakan upah natura yang diberikan
pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan
bagian tertentu dari hasil panen. Bawon juga merupakan sistem upah secara
tradisional yang dikenal para petani pedesaan Jawa. Warga desa biasanya akan
lebih senang apabila para pemilik sawah saat musim padi menggunakan sistem bawon dimana para tetangga sekitar
petani tersebut diajak menanam, pemberian upah gabah menggunakan bawon 5:1 akan lebih berguna dibandingkan
dengan upah uang harian seperti buruh tetap, apabila dengan upah uang maka akan
cepat habis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan apabila menggunakan upah
bawon maka akan lebih awet.
Namun seiring perkembangan yang semakin modern, para
petani pemilik sawah, beberapa sudah mulai meninggalkan sistem derep dan bawon dalam proses menanam padi pada masyarakat. Misalnya petani di
Desa Bulakwaru Tarub Kabupaten Tegal, Beberapa petani dalam memanen padi sudah
menggunakan sistem borongan tebas bersih kepada tukang pengepul padi atau biasa di sebut juragan padi, hal tersebut dilakukan karena
apabila proses memanen padi dilakukan oleh petani itu sendiri, tidak
menghasilkan uang secara cepat karena harus melalui tahap yang lumayan lama,
sedangkan para petani harus melakukan sistem perputaran menanam lagi secara
cepat, sehingga membutuhkan biaya yang cepat dan banyak pula. Contoh lainnya
yaitu proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga buruh tani di Desa
Bulakwaru tarub Tegal dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh
tani. Hal itu disebabkan karena perubahan pola pikir masyarakat, murahnya
tenaga buruh tani dan makin bertambahnya jumlah petani di wialayah tersebut
yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat
sempit sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga
sepanjang musim. Paradigma pemberian upah dari majikan kepada buruh tani telah
bergeser, sebelumnya imbalan yang diberikan diwujudkan dengan bentuk hasil
panenan padi, kini pemberian upah didominasi dalam bentuk uang.
Permasalahan tersebut akan menjadi kebiasaan turun-temurun
yang sangat berhubungan dengan keterikatan antar individu di dalam masyarakat
sedikit demi sedikit mula mengikis dan pudar. Sebuah kebiasaan kebersamaan dan
kekeluargaan yang telah berlangsung secara turun-temurun dan merupakan hal
ideal dari masyarakat desa, ternyata dalam perkembangannya telah terjadi
pengikisan kebiasaan akibat banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan
kesenjangan tersebut. Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin mengkaji
lebih khusus mengenai Bagaimana Realisasi wujud gotong royong dalam Sistem
Bawon di Desa Bulakwaru Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal antara zaman dahulu dan
sekarang.
2.
Permasalahan
Berdasarkan latar
belakang yang telah di uraikan diatas, penulis menguraikan beberapa permasalahan
yakni: Bagaimana mengenai realisasi wujud gotong royong dalam sistem bawon tradisi derep pada masyarakat Desa Bulakwaru Kecamatan Tarub Kabupaten
Tegal, serta bagaimana menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur pada tradisi derep pada masyarakat petani di Desa Bulakwaru
Tarub Kabupaten Tegal.
3.
Pembahasan
Pengertian sistem bagi hasil atau bawon dalam tradisi derep
Secara etimologi pertanian, berasal dari kata agriculture,
dimana ager artinya lahan atau tanah dan cultura artinya
memelihara atau menggarap. Menurut A.T Mosher (1968: 19) pertanian adalah
sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan
tanaman dan hewan. Wilayah Indonesia yang merupakan sebagi negara
berkembang, sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi
sebagian besar penduduk dan merupakan sasaran pembangunan di pedasaan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Suhartono dalam Harumiasih (2002: 23)
prioritas pembangunan masyarakat di pedesaan dijatuhkan pada sektor
ekonomi pertanian. Hal tersebut disebabkan karena mata pencaharian
sebagai petani di Indonesia identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Tidak
bisa disanggah lagi bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah
penduduk pedesaan yang bekerja pada sektor agraris atau pertanian sebagai mata
pencaharian utamanya.
Kemudian membahas suatu
tradisi yang ada di salah satu masyarakat tani di tengah-tengah masyarakat
modern. Misalnya yakni tradisi derep dan
sistem bawon atau sistem bagi hasil. Derep dan bawon merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang para petani
sudah memenuhi unsur hukum adat karena merupakan aktifitas atau kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat tani. Derep merupakan proses memanen padi dengan cara memotong tangkai tanaman padi
yang bersisi bulir-bulir padi menggunakan alat khusus yang disebut Ani-ani atau
Ketam. Ani-ani sendiri adalah sebuah alat yang terbuat dari kayu dan bambu
dengan sebilah logam yang ditajamkan dibagian tengahnya. Derep
ditujukan untuk melakukan pemotongan bulir-bulir padi yang tertinggal atau
tersisa setelah sistem Tebas dilakukan.
Mereka akan membawa hasil Derep nya
didalam sebuah wadah berupa bakul yang terbuat dari anyaman bambu (biasa
disebut Cepon) ke rumah pemilik sawah
untuk kemudian dilakukan bagi hasil atau yang disebut bawon.
Collier et.al (1974:
10) menyebutkan pada sistem bawon
tradisional, bawon merupakan upah
natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani khususnya untuk kegiatan
panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Pada saat panen padi merupakan aktifitas komunitas yang dapat
diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu
dari hasil yang diperoleh. Sistem bawon
tersebut juga merupakan tradisi yang benar-benar terbuka dalam arti setiap
orang di izinkan ikut memanen (Hayami dan Kikuchi, 1981: 50).
Sistem
pelaksanaan tradisi bawon dan derep masyarakat Desa Bulakwaru
Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal
Wilayah Desa Bulakwaru Kecamatan Tarub Kabupaten
Tegal merupakan salah satu desa yang terletak pada posisi antara 109◦04’25” BT
– 109◦08’04” BT dan antara 6◦53’44” LS – 6◦55’11” LS, serta memiliki wilayah
yang terdiri dari daratan bukan pesisir. (Kecamatan-Tarub-dalam-angka-2016).
Menurut data UPTD Tanbunhut Kecamatan Tarub tahun 2015, Luas Desa Bulakwaru
adalah 480 Hektar, terdiri dari 197 hektar merupakan lahan sawah dan 88 hektar
merupakan lahan bukan sawah. Dari data tersebut besarnya luas lahan sawah,
seluruhnya pengairan teknis sawah ditanami tanaman padi sebanyak tiga kali
dalam satu tahun. Dari data tersebut sudah jelas bahwa mayoritas masyarakat di
Desa Bulakwaru bermata pencaharian sebagai petani, baik yang memiliki tanah
sawah, maupun hanya sebagai buruh tani, walaupun demikian masih ada beberapa
yang bermata pencaharian sebagai PNS, pedagang, serta merantau di kota-kota
besar.
Proses bagi hasil atau bawon dilakukan setelah penderep selesai memanen padi dan mengumpulkan
hasil derepnya kedalam karung atau bagor. Dengan cara diangkut ke rumah
pemilik sawah maka pemilik akan langsung bawoni dengan cara membagi padi dengan
perbandingan 5:1 artinya apabila buruh tani mendapat derep 60 kg maka yang 50
kg akan diberikan kepada pemilik dan 10 kg untuk buruh tani. Sistem pembagian
tersebut di Desa Bulakwaru sudah disepakati dari zaman nenek moyang terdahulu
hingga sekarang dan diturunkan secara turun-menurun.
Makna gotong royong yang terdapat
pada masyarakat
Bentuk dari gotong-royong dan tolong-menolong pada
masyarakat di Desa Bulakwaru yaitu pada saat panen atau derep, biasanya penderep akan saling gotong-royong dan
tolong-menolong apabila ada salah satu tetangganya belum selesai nggebuk padi.
Artinya para penderep akan saling membantu satu sama lain agar pekerjaan derep cepat selesai dan bisa cepat
pulang bersama-sama. Tolong-menolong pada saat derep juga dicontohkan penderep saat mengangkut hasil derep berupa
padi yang sudah dimasukkan ke dalam bagor atau karung, ibu-ibu atau
nenek-nenek yang sudah tidak kuat menggendong karung biasanya akan mendapat
bantuan dari penderep lain yang memiliki motor untuk mengangkut gabah ke rumah
pemilik. Bentuk gotong-royong selanjutnya adalah ketika sawah tempat untuk derep agak jauh dari rumah pemilik
sawah, maka para penderep akan iuran
bersama untuk menyewa mobil bak terbuka untuk mengangkut hasil derepnya ke
rumah pemilik sawah. Adanya gotong-royong dan tolong-menolong diantara petani
ini merupakan suatu keharusan, sehingga kehidupan petani padi terutama yang
berada di desa Bulakwaru bagaikan suatu keluarga. Dimana tolong-menolong
tersebut tidak diukur oleh uang atau benda lainnya sebagai pembayaran.
Dalam gotong royong dan tolong menolong tersebut
juga terdapat nilai-nilai rasa berbagi terhadap sesama dan rasa kebersamaan.
Misalnya adalah pada saat petani menyuruh atau mengajak tetangganya untuk ikut memanen
padi. Menurut seorang petani penggarap, alasan untuk mengajak tetangga dekat
untuk ikut memanen padi di landasi dengan rasa berbagi dan tolong-menolong,
rasa berbagi agar para tetangganya dapat mendapatkan bawonan dan agar para
tetangganya mendapat pekerjaan sampingan dan tambahan penghasilan. Kemudian
pada saat pemberian upah bawon, masyarakat Desa Bulakwaru biasanya sering
menambahkan padi sedikit dari takaran biasanya, hal tersebut karena niatnya
untuk mendapatkan rezeki yang berkah dari hasil panen padi yaitu dengan cara
bersedekah (berbagi) kepada tetangga-tetangganya yang ikut derep di sawahnya. Selanjutnya rasa kebersamaan masyarakat desapun
juga tercermin dalam hal bercocok tanam atau pertanian. Misalnya adalah
masyarakat desa Bulakwaru beranggapan bahwa bawon
merupakan kegiatan panen padi dan pembagian upah dengan rasa kebersamaan
karena para penderep yang merupakan
para tetangga pemilik sawah melakukan kegiatan dari mulai nandur, derep dan bawon
yang dilakukan secara bersama-sama tanpa saling mendahului, saling egois atau
saling curang satu sama lain. Tindakan kebersamaan ini juga mereka wujudkan
melalui kerjasama saling membantu dan tolong-menolong dalam mengerjakan derep dan bawon. Hal itulah yang menunjukkan bahwa dalam sistem bawon terdapat makna kebersamaan antar
petani yang tidak terdapat di kegiatan-kegiatan lainnya.
Penyebab ditinggalkannya tradisi bawon dan derep oleh masyarakat
Penyebab ditinggalkannya sistem bawon dan derep khususnya
dikalangan petani masyarakat Desa Bulakwaru salah satunya adalah munculnya atau
timbulnya rasa sungkan/pekewuh dalam proses pekerjaan panen antara
petani pemilik sawah dengan buruh tani (penderep).
Berhubungan dengan proses pengerjaan di sawah, dimana petani pemilik sawah
cenderung pekewuh atau sungkan apabila akan menyuruh-nyuruh buruh tani (penderep) layaknya majikan dengan
buruhnya, karena dengan tradisi bawon
maka perlakuan petani pemilik terhadap penderep harus didasari oleh rasa
kekeluargaan dan kekerabatan. Berbeda dengan sistem pemberian upah yang
dilakukan sekarang, yakni berupa pemberian uang harian kepada para buruh tani,
petani pemilik cenderung akan lebih bebas apabila menyuruh-nyuruh dalam
pekerjaannya di sawah.
Selain itu Sistem panen borongan tebasan ini
memberikan andil besar untuk semakin di tinggalkannya sistem panen tradisional.
Penebas atau biasa di sebut juragan
tentunya menginginkan hasil yang maksimal dan akan menentukan sendiri cara
panen yang menurutnya lebih menguntungkan. Selain itu penebas juga tidak memiliki ikatan dengan komunitas petani,
biasanya penebas akan menggunakan pekerjaan dengan sistem buruh upahan yang
tentu saja lebih memilih bekerja dengan peralatan sabit di banding dengan
menggunakan ani-ani. Sistem borongan
tebasan ini juga sudah banyak dilakukan oleh para petani di Desa Bulakwaru,
alasannya adalah apabila proses memanen padi dilakukan oleh petani itu sendiri,
tidak menghasilkan uang secara cepat karena harus melalui tahap yang lumayan
lama, sedangkan para petani harus melakukan sistem perputaran menanam lagi
secara cepat, sehingga membutuhkan biaya yang cepat dan banyak pula. Sehingga
dengan meninggalkan sistem bawon dan
beralih ke sistem borongan tebasan
agar dalam pekerjaan memanen padi menjadi lebih efisien dan cepat dan langsung
mendapatkan uang tunai dari penebas atau juragan. Pemberian upah dengan bawon memang dituntut untuk mengeluarkan
sedikit hasil dan rezeki kita bagi tetangga dekat dan sesama, karena kita semua
tidak dapat hidup hanya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Namun, semakin
bertambahnya perkembangan zaman, serta sudah jarang yang mau disuruh tandur
dan derep, hasil dari bawon tersebut agaknya berkurang
dibandingkan dengan menyewa buruh tandur dan derep. Untuk mengatasinya
petani tersebut menggunakan sistem kroyokan (borongan) dalam pekerjaan
memanen padi, dimana padi yang sudah siap panen akan dipanen oleh beberapa
orang saja dalam satu kelompok dan upahnya akan diberikan dengan uang harian
dan pemberian makan atau minum. Penyebab yang terakhir adalah karena pola pikir
masyarakat yang sudah berbeda, yang dalam hal ini cenderung berlomba-lomba
untuk mencari materi sebanyak mungkin, sehingga menyebabkan beralih ke lapangan
pekerjaan yang lebih menguntungkan lagi. Dari beberapa penyebab ditinggalkannya
sistem bawon dan derep oleh masyarakat apabila terus berlanjut, di khawatirkan akan
menyebabkan terkikisnya dan hilangnya secara perlahan tradisi bawon dan derep tersebut dikalangan masyarakat.
Kesimpulan
Kesadaran
untuk memelihara, membina, dan mengembangkan budaya dan tradisi yang mencerminkan
nilai luhur dan kekayaan bangsa adalah bukti keperdulian terhadap kelangsungan
proses kehidupan, salah satunya dalam kehidapan bermasyarakat. Maka dari itu,
dari berbagai makna, nilai-nilai yang terdapat dalam sistem tradisi bawon dan derep, serta penyebab yang mengakibatkan mulai terkikisnya tradisi
tersebut di kalangan masyarakat perlu mendapatkan perhatian, sehingga
diharapkan tradisi tersebut tetap lestari dan terus terlaksana di dalam
kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Arumbinang
Kasihono. 1993. Sistem Bawon Untuk KUD: Suatu Alternatif
Pengalihan
Saham 20%. Jakarta: CV Haji Masagung.
A.T,
Mosher.1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta:
Yasagama.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal.
2016. Kecamatan Tarub Dalam Angka.
Gatut Murniatmo, dkk.
2000. Khazanah Budaya Lokal (Sebuah
Pengantar untuk
Memahami Kebudayaan Daerah di
Nusantara). Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Magnis Franz, Suseno. 1985. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Sutarjo Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta :
Jurusan Sastra Daerah
Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Tanto Handi Tris. 2013. Sistem Bawon di Desa Mungseng Kecamatan
Temanggung
Kabupaten Temanggung. Yogyakarta
Internet
Akhmad, Dias. 2016. Mengenal Tradisi Derep Di Pulau Jawa.
http://www.siputnegeri.web.id/2016/02/mengenal-tradisi-derep-di-pulau
jawa.html. (Diakses pada tanggal 29 November 2016 pukul 20.30
WIB).
0 Comments